
Pada awal merebaknya Covid-19, berbagai informasi muncul melalui media sosial, bahwa salah satu upaya pencegahan terhadap tertularnya virus yang mematikan ini adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh. Salah satunya dengan mengkonsumsi jenis tanaman tertentu yang orang Jawa menyebutnya sebagai empon-empon. Jenis tanaman ini sangat akrab bagi ibu rumahtangga, karena beberapa diantaranya selalu tersedia di dapur. Dan belakangan, salah satunya, jahe merah, sempat langka di pasar.
Berlatar belakang pertimbangan tersebut, Dr. Ir. Tri Wardhani, MP tergerak untuk mengupasnya. Mengangkat tema Budidaya Tanaman Empon-empon ala Suku Baduy, Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang ini menunjuk Kang Sarpin sebagai narasumber. Disamping mengupas tentang budidaya empon-empon, pemilihan narasumber ini juga sebagai upaya untuk mengangkat salah satu kekayaan budaya Nusantara. “Kang Sarpin adalah representasi petani Suku Baduy Luar,” demikian jelas Tri Wardhani.
“Pada masa pandemi Covid-19, banyak usaha yang bangkrut.

Diantaranya adalah peternak ayam potong dan ayam petelur, karena pakan ternak tidak produksi lagi oleh pabrik. Beda dengan petani sayur sebagaimana yang dilakukan oleh Suku Baduy, luar maupun dalam. Mereka tetap berjaya. Mengapa? Karena mereka memiliki kearifan lokal, yaitu mandiri dalam pengusahaan input pertaniannya, baik dalam hal penyediaan benih padi maupun bibit empon-empon yang mereka usahakan secara tumpang sari dengan hanya mengandalkan pengairan pada air hujan. Mereka sudah terbiasa memisahkan seperempat sampai dengan separuh hasil panen untuk bibit pada musim tanam berikutnya,” demikian Tri Wardhani yang juga bertindak sebagai host memulai kuliah yang dikemas secara daring melalui media Zoom pada Rabu 22 April 2020, jam 15.00
Lebih jauh Tri Wardhani menyimpulkan rangkuman kuliah daring yang dipimpinnya bahwa petani Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten ini tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi yang lain. “Mereka tidak menggunakan pupuk kimiawi buatan pabrik maupun pupuk kandang karena pada umumnya lahan sudah subur. Sistem tanam ladang berpindah juga menjadi salah satu alasan kesuburan tanahnya. Merekapun tidak menggunakan pestisida kimiawi, sehingga produknya sehat untuk manusia dan lingkungan hidup tetap terjaga,” jelas ibu satu putri ini lebih lanjut. Ditambahkan pula, sebagaimana para petani konvensional di Bromo Tengger, petani sayur Suku Baduy Luar inipun masih memegang teguh kepercayaan akan jampe’-jampe’, yaitu mantra-mantra yang intinya permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar melindungi tanaman mereka dan memberikan hasil produksi yang baik.

Kuliah tamu secara daring ini diikuti oleh lebih dari 30 orang mahasiswa FP UWG, khususnya Program Studi Agroteknologi. Waktu yang direncanakan hanya 40 menit, harus diperpanjang karena semangatnya para peserta. Diakhir kuliah, surprise berupa pulsa sebesar Rp. 25.000 diberikan kepada para mahasiswa yang aktif pada sesi diskusi. (san/pip/red:rh)



