Hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006. Saya sudah bersiap diri untuk berangkat ke kampus. Hari itu Universitas Widyagama Malang melaksanakan upacara wisuda. Pukul 05.50 WIB terasa ada yang tidak pas dengan keseimbangan saya. Gempa, itu yang terpikir pertama kali. Saya bilang ke keluarga saya: “Waduh, Semeru batuk-batuk,” dengan nada setengah bercanda. Istri saya langsung menyalakan televisi dan ternyata benar dugaan awal saya. Berita di televisi menyebutkan telah terjadi gempa di Yogyakarta. Dalam berita disebutkan bahwa gedung olah raga SASONO AMONGROGO yang terletak di Stadion Mandala Krida, roboh. Pusat gempa diperkirakan 25 kilometer sebelah selatan dari Kota Yogyakarta.
Pikiran saya langsung melayang ke Yogyakarta karena jarak rumah saya kira-kira 12 km dari pusat Kota Yogyakarta, jadi lebih dekat dari pusat gempa. Kalau gedung olah raga yang konstruksinya pasti kuat saja roboh, bagaimana dengan rumah keluarga yang bangunannya merupakan bangunan lama. Pulang! Itu keputusan yang langsung saya ambil.
Berbarengan dengan teman yang juga berasal dari Yogyakarta, kami segera berangkat, meninggalkan acara wisuda di kampus tempat saya mengajar. Sepanjang perjalanan, topik pembicaraan kami berfokus pada sekitar gempa. Saya malah sempat memberikan “nasihat”, agar kita tidak menerima mentah-mentah informasi yang masuk: “Jangan dipercaya 100% tapi juga tidak boleh mengatakan bahwa itu berita bohong.” Jujur, ini adalah bagian dari upaya untuk membesarkan hati diri sendiri, karena begitu mendengar berita di televisi, pikiran saya terus melayang ke orangtua di Bantul. Bagaimana dengan rumah, bagaimana dengan kedua orangtua saya….. Sepanjang perjalanan, komunikasi dengan keluarga di Bantul terus saya lakukan.
Pukul 12.00, saya sudah kehilangan kontak dengan keluarga di Bantul. Sekitar pukul 18.00, perjalanan kami sampai di Kota Klaten. Terlihat banyak orang berkerumun di tepi jalan. Perasaan tidak nyaman yang sudah saya rasakan saat meninggalkan Kota Malang, makin berkecamuk. Rupanya ada bangunan tinggi yang posisinya miring, akibat gempa. Bibir rasanya semakin kelu mengucap semua doa yang mampu saya ucapkan.
Setelah melewati Kota Klaten suasana gelap gulita karena pemadaman listrik, sampailah perjalanan di Candi Prambanan. Di area ini listrik tidak dipadamkan. Tetap dengan tujuan lebih kepada menenteramkan hati, saya sampaikan kepada teman-teman: “Kalau listrik masih menyala, insya allah aman”. Namun upaya menenteramkan hati ini kemudian membuat saya tak mampu lagi berucap saat perjalanan mendekati Kota Yogyakarta. Listrik padam atau sengaja dipadamkan. Bukan hanya bibir yang kelu, serasa seluruh tulang tak mampu lagi menyangga raga saya. Lemas… Bagaimana keadaan ibu dan bapak, terus memenuhi pikiran saya.
Pukul 20.30 saya sampai di kampung saya, Dusun Sutran Desa Sabdodadi Kecamatan Bantul Kabupaten Bantul. Saat itu suasana kampung gelap gulita, penduduk ditampung di gedung SD Sutran, yang sekaligus berfungsi sebagai dapur umum. Saya melihat rumah keluarga di bagian gandhok (rumah samping) di sisi kiri roboh. Tembok rumah sisi kanan roboh. Saya mengucap rasa syukur yang tak terputus karena bapak yang saat itu sedang sakit, selamat, tidak kejatuhan atap rumah.
Pagi harinya saya berkelililing ke seluruh kampung, nampak hanya tinggal tiga rumah saja yang tidak roboh. Hampir semuanya rata dengan tanah.
Tanggal 30 Mei 2006, tiga hari setelah kejadian, rombongan dari Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang datang dibawah pimpinan Dekan Fakultas Pertanian (saat itu: Dr. Ir. Iwan Nugroho, MS). Kehadiran rombongan tentu saja membuat kami sekeluarga dan semua warga kampung Sutran merasa gembira di tengah kesusahan bersama. Kehadiran rombongan dari FP ini membawa bantuan yang diberikan langsung oleh Dekan FP dan diterima oleh Ketua RT 05 Sutran.
Saya, Suprihana, dosen Fakultas Pertanian UWG tidak akan pernah mampu melupakan peristiwa ini. Gempa dan kepedulian Keluarga Besar Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang, meskipun ini sudah berlangsung 15 tahun yang lalu. (san/pip/red:sph)



