Meningkatnya Gugatan Malpraktik: Pakar Bahas Standar Hukum dan Tanggung Jawab Medis di Seminar Internasional

oleh | Feb 22, 2025 | Berita | 0 Komentar

Meningkatnya Gugatan Malpraktik: Pakar Bahas Standar Hukum dan Tanggung Jawab Medis di Seminar Internasional

Malang, 22 Februari 2025 – Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas Widyagama (UWG) Malang menggelar seminar bertajuk International Health Law Conference, membahas isu hukum kesehatan dengan fokus pada kelalaian medis (medical negligence). Seminar ini menghadirkan Dr. Mohd Zamre bin Mohd Zahir (Universitas Kebangsaan Malaysia) sebagai pemateri utama yang membahas aspek hukum dalam kasus malpraktik medis di berbagai negara, khususnya di Malaysia.

Dalam pemaparannya, Dr. Zamre menjelaskan bahwa kasus kelalaian medis terus meningkat, dengan banyaknya pasien yang menggugat dokter dan rumah sakit akibat kesalahan diagnosis dan perawatan. Ia menyoroti kasus terkenal seperti Bolam v Friern Hospital Management Committee, Bolitho v City & Hackney Health Authority, serta Rogers v Whitaker, yang menjadi dasar dalam menentukan standar hukum bagi tenaga medis.

Menurut Dr. Zamre, terdapat tiga elemen utama dalam gugatan kelalaian medis, yaitu:

  1. Adanya kewajiban hukum (duty of care) – Dokter memiliki tanggung jawab hukum untuk memberikan perawatan yang sesuai kepada pasien.
  2. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut (breach of duty) – Dokter gagal memenuhi standar perawatan yang berlaku.
  3. Akibat dari pelanggaran tersebut menyebabkan kerugian atau cedera pada pasien (causation).

Di Malaysia, gugatan kelalaian medis umumnya diajukan berdasarkan hukum perdata (law of tort) untuk mendapatkan kompensasi. Namun, dalam beberapa kasus, dokter juga dapat menghadapi tuntutan pidana jika kelalaian yang dilakukan menyebabkan kematian pasien.

Salah satu kasus yang dibahas dalam seminar ini adalah Foo Fio Na v Hospital Assunta, di mana Mahkamah Federal Malaysia memutuskan bahwa standar Bolam Test tidak lagi relevan dalam menentukan kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasien terkait risiko pengobatan. Sebaliknya, pengadilan akan menilai apakah dokter telah memberikan informasi yang cukup bagi pasien untuk mengambil keputusan yang tepat.

Dr. Zamre juga menyoroti bagaimana negara lain, seperti Australia, telah menerapkan pendekatan yang lebih berpihak pada hak pasien untuk mendapatkan informasi medis yang lengkap sebelum menjalani perawatan. “Hak untuk mengetahui risiko pengobatan adalah bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, dokter tidak bisa hanya bergantung pada praktik medis yang lazim, tetapi harus memastikan pasien memahami sepenuhnya konsekuensi dari tindakan medis yang diambil,” jelasnya.

Seminar ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman akademisi, praktisi hukum, serta tenaga medis mengenai standar hukum dalam pelayanan kesehatan dan pentingnya komunikasi yang transparan antara dokter dan pasien. (San/pip)

 

Berita Terbaru UWG