Dr. Purnawan Dwikora Negara, SH, MH, Dekan Fakultas Hukum Kampus Inovasi Universitas Widyagama Malang periode kedua, baru saja menguji tesis mahasiswanya di Program Pascasarjana Universitas Widyagama Malang. Ujian yang berlangsung 75 menit dengan dua sesi ini dirasakan cukup, menurutnya.
Fakultas yang dipimpinnya adalah fakultas yang pertama kali melakukan ujian akhir secara daring di lingkungan Universitas Widyagama Malang, dengan tiga orang mahasiswa jenjang strata satu. Langkah strategis yang sangat mendukung mahasiswa ini kemudia diikuti oleh fakultas lain di lingkungan yang sama, yaitu Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi.
“Ujian ini sebenarnya bermaksud melihat alur pikir mahasiswa atas kasus yang diteliti. Bagaimana mahasiswa menganalisis, menyajikan data, kemudian mempertahankan gagasannya dengan argumentasi hukum yang logis. Jadi tidak menguji salah atau benarnya. Penelitian boleh saja salah, karena nanti akan kesempatan untuk memperbaiki. Yang penting adalah bahwa penelitian tidak boleh dilakukan dengan bohong atau memanipulasi data,” jelas dosen gaul ini dengan semangat. “Ujian daring ini, karena peserta boleh berada dimana saja yang diharapkan membuatnya rileks, tetap saja membuat mahasiswa tegang. Ini nampak sekali pada intonasi bicara dan raut wajah mereka,” lanjutnya dengan tertawa. “Dalam kondisi darurat seperti saat ini, ujian daring sangat bermanfaat, efisien, dan efektif dengan tidak mengurangi kesakralan atau kemarwahannya,” imbuhnya.
Satu kelemahan menurut bapak yang putri satu-satunya sedang melanjutkan studi di Jepang ini, adalah bahwa sistem daring ini sangat bergantung pada jaringan internet, apalagi bila salah satu peserta berada pada wilayah atau lokasi yang jaringan internetnya putus-nyambung.
“Satu lagi……,” tambahnya sebelum mengakhiri wawancara. “Kalau ujian tatap muka langsung di kelas, seluruh peserta menggunakan busana formal lengkap sebagaimana ketentuan yang ada, kalau dengan daring ini bisa sedikit suka-suka…..,” imbuhnya. “Maksudnya?,” tanya pewarta. “Bisa jadi, pengujinya atau yang diuji, bagian atas memakai busana resmi, tetapi bagian bawahnya pakai sarung atau celana kolor. Saat menguji kemarin, bagian atas saya memakai hem lengan panjang lengkap dengan dasi, tetapi bawahnya pakai celana pendek.” Sebuah pengakuan jujur dari dekan yang biasa dipanggil Pupung ini mengakhiri wawancara pada pagi Kamis 9 April 2020, juga dengan media daring.
Mengurangi kesakralan? Rasanya tidak. Mengurangi kelengkapan kelulusan? Rasanya juga tidak. So….jalan terus…….(san/pip/red:rh)



