Oleh Brian Arnold Setiawan, Dr. Ibnu Subarkah, S.H., M. Hum.
Fakultas Hukum, Universitas Widya Gama Malang
Fenomena perundungan ( bullying ) berkembang menjadi pola kekerasan yang tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi juga merambah ke dunia digital. Perkembangan teknologi memungkinkan relasi kuasa dalam perundungan bergeser menjadi lebih kompleks, karena pelaku memiliki ruang tambahan untuk melanjutkan serangan mereka. Dalam kondisi demikian, korban sering kali mengalami apa yang disebut sebagai “viktimisasi berlapis”, yakni kondisi ketika seseorang diserang baik secara luring maupun siber secara bersamaan atau berkelanjutan. Dalam perspektif viktimologi, viktimisasi berlapis ini berdampak lebih berat bagi korban, karena mereka kehilangan ruang aman di dunia sekaligus: dunia fisik yang dapat mereka lihat dan dunia maya yang sulit mereka kendalikan. Hal ini membuat respons hukum dan pemidanaan tidak dapat dilakukan secara parsial, sebab dimensi kejahatan yang terjadi bersifat lintas-ruang dan menghasilkan beban psikologis yang lebih besar bagi korban.
Dalam perundungan luring, korban mengalami tindakan fisik atau verbal secara langsung yang sering kali dapat diamati dan dibuktikan melalui saksi, rekaman, atau tanda-tanda kekerasan. Namun, dunia digital menawarkan bentuk yang lebih paten, seperti penyebaran konten merendahkan, penghinaan melalui media sosial, penguntitan digital, hingga penyebaran data pribadi. Dalam banyak kasus, agresi di dunia maya justru memperluas jangkauan viktimisasi, karena konten dapat disebarkan dengan cepat, tidak dapat sepenuhnya dihapus, dan dapat diakses berulang kali. Dampak psikologis yang timbul tidak hanya berupa kecemasan atau depresi, tetapi juga rasa kehilangan control atas identitas diri, karena citra mereka di dunia digital menjadi bagian dari arsip permanen yang sulit dihilangkan. Dalam kajian viktimologi, kondisi ini disebut sebagai bentuk “secondary victimization”, yakni situasi ketika korban kembali mengalami luka emosional akibat eksposur berulang terhadap materi yang merugikan dirinya sendiri.
Ketika perundungan terjadi dalam dua dimensi yang berbeda, pemahaman terhadap posisi korban menjadi kunci. Viktimolgi menekankan bahwa kerentanan korban tidak hanya ditentukan oleh faktor pribadi, tetapi juga struktur sosial, lingkungan, dan teknologi yang memfasilitasi kejahatan. Korban perundungan ganda umumnya menunjukkan tingkat trauma yang lebih mendalam karena peristiwa tersebut tidak hanya menyerang mereka secara fisik atau verbal, tetapi juga identitas sosial dan digital mereka. Dalam konteks remaja, viktimisasi ganda ini dapat menimbulkan gangguan perkembangan sosial, kecenderungan menarik diri, hingga resiko tindakan bunuh diri. Secara sosial, korban sering kali mengalami stigma, karena rekam jejak digital membuat perundungan memperoleh audiens yang lebih luas. Dengan demikian, keberadaan teknologi bukan hanya menjadi medium tambahan, tetapi juga memperkuat intensitas dan kualitas serangan terhadap korban.
Dalam dimensi penologi, tantangan utama terletak pada penentuan sanksi dan bentuk pertanggungjawaban pelaku. Sistem hukum Indonesia masih berfokus pada pemisahan ruang peristiwa antara kejahatan yang terjadi secara fisik dan kejahatan siber. Padahal, dalam perundungan berlapis, kedua bentuk kekerasan tersebut saling melanjutkan satu sama lain dan harus dipandang sebagai satu rangkaian viktimisasi. Penologi sebagai disiplin yang mempelajari pemidanaan menuntut adanya pendekatan yang lebih holistic dalam menentukan sanksi, karena efek kejahatan terhadap korban jauh lebih besar daripada kasus yang hanya terjadi dalam satu dimensi. Namun penegakan hukum sering kali terhambat oleh tantangan pembuktian, seperti atribusi identitas pelaku di ruang digital, kesulitan menghapus jejak digital yang tidak konsisten, serta ketidakmampuan apparat untuk memahami siklus kejahatan yang terjadi secara simultan.
Selain itu, penentuan sanksi bagi pelaku harus mempertimbangkan tingkat bahaya viktimisasi yang dialami korban. Jika perundungan menghasilkan luka fisik, sedangkan perundungan siber memberikan tekanan psikologis yang terus berlangsung, maka pemidanaan seharusnya mengintegrasikan kedua bentuk serangan tersebut sebagai satu kesatuan kejahatan. Model pemidanaan yang hanya memisahkan antara delik fisik dan delik digital tidak lagi relevan dengan pekembangan bentuk kejahatan kontemporer. Penologi kontemporer mendorong penerapan prinsip proportionality dan individualized sentencing, yakni pemidanaan yang menghitung secara realistis dampak kumulatif terhadap korban. Dengan demikian, viktimisasi berlapis perlu dipandang sebagai faktor pemberat (aggravating factor) dalam pemidanaan pelaku perundungan.
Namun, diskusi mengenai pemidanaan tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan perlindungan korban. Viktimologi modern mengkritik sistem hukum yang terlalu berpusat pada pelaku tetapi mengabaikan kebutuhan korban. Dalam kasus perundungan berlapis, dukungan psikologis, perlindungan identitas digital, akses terhadap layanan pemulihan, serta jaminan non-revictimzation harus menjadi prioritas. Dalam praktiknya, korban sering kali menghadapi kesulitan melaporkan perundungan digital karena proses hukum dianggap panjang, teknis, dan tidak ramah korban. Penilaian moral masyarakat sering kali memperburuk situasi, misalnya menyalahkan korban atas konten yang tersebar atau menganggap perundungan maya sebagai hal biasa. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem pemidanaan perlu memperkuat mekanisme perlindungan korban dan memastikan bahwa setiap tahap proses hukum tidak menambah luka psikologis baru.
Dengan demikian, perundungan yang terjadi di dua sisi sekaligus menuntut kerangka viktimilogi dan penologi yang lebih responsif dan adaptif. Pendekatan viktimologi membantu memetakan kerentanan dan dampak berlapis terhadap korban, sedangkan penologi memberikan landasan untuk menentukan sanksi yang proporsional terhadap pelaku. Keduanya harus berjalan seiring, sebab tanpa memahami tingkat penderitaan korban, pemidanaan tidak akan mencerminkan keadilan substantif. Pada saat yang sama, tanpa penegakan hukum yang jelas, viktimisasi berlapis akan terus menjadi ancaman yang sulit dikendalikan, terutama di era ketika batas antara dunia nyata dan dunia digital menjadi semakin kabur. Dalam konteks ini, artikel ini menegaskan bahwa reformulasi kebijakan pemidanaan dan mekanisme perlindungan korban adalah kebutuhan mendesak atau memastikan bahwa korban perundungan di dua dunia mendapatkan keadilan yang layak.




